Monday, October 15

Arah Kebangkitan Muslimah


Barat mungkin membiarkan Muslimah tertutup pakaiannya tapi pemikirannya serba terbuka.
Muslimah berjilbab atau sekadar berkerudung, sekarang pemandangan biasa. Kiprahnya juga ada di mana-mana. Jadi guru, pengusaha hingga politisi. Inikah kebangkitan Muslimah? Tunggu dulu! Koruptor yang wanita itu, juga Muslimah. Mereka menutupi rasa malunya dengan kerudung.  Pelakon video mesum itu, juga remaja-remaja berkerudung, bahkan dari sekolah Islam. Apakah ini kebangkitan Muslimah?
Baru Kulit Luar
Ya, membincangkan Hari Kebangkitan 20 Mei, perlu perenungan mendalam terkait kebangkitan Muslimah. Memang, bila kita kaji, sekitar sepuluh tahun belakangan ini, para Muslimah seolah mengalami euforia. Kiprah mereka semakin eksis mengisi ruang-ruang publik. Apalagi, busana Muslimah semakin diakui.
Dulu, hanya sedikit Muslimah yang percaya diri mengenakan jilbab dan kerudung. Jilbab, yang di masyarakat dikenal sebagai gamis, identik dengan pakaian orang hamil. Hanya dikenakan ibu-ibu pengajian majelis taklim. Terlepas dari motif mengenakannya, kini jilbab dan kerudung sudah menjadi bagian dari tren fashion. Bahkan, Indonesia dinobatkan sebagai tren busana Muslim dunia.
Fenomena ini merupakan perkembangan yang patut diapresiasi. Sayang, itu hanya tampilan luarnya. Sekadar 'bungkus'-nya. Sementara 'isi'-nya, sama sekali bukan cermin Muslimah sejati. Tentu kita tidak habis pikir bukan, bagaimana seorang pelajar sekolah Islam berzina dan merekamnya pula? Kalau dia ber-Islam luar-dalam, niscaya tidak akan terjadi.
Bukan profil Muslimah sejati pula bila dalam kiprahnya ia terjerumus dalam korupsi, kolusi dan kemaksiatan lainnya. Patut dipertanyakan pula, bila Muslimah berjilbab telah duduk di kursi-kursi pengambil kebijakan, namun justru mendukung sekulerisasi regulasi.
Itu semua terjadi karena tidak adanya keselarasan antara pola pikir dan pola sikap, antara pemahaman dan perbuatan. Benar, mereka tampil islami, namun pemikirannya sangat sekuler, liberal dan kebarat-baratan. Mungkin ada yang berniat sungguh-sungguh membawa visi-misi Islam, namun justru terbentur sistem kapitalisme yang melempar mereka ke dalam kubangan.
Pembaratan
Belakangan ini, terjadi penjungkirbalikkan ajaran Islam, khususnya di kalangan Muslimah. Banyak gagasan-gagasan ala Barat yang menyasar Muslimah. Pemberdayaan ekonomi Muslimah misalnya, sangat khas ide Barat. Dari sana muncul Muslimah-Muslimah materialistis, yang tak puas mencukupi keinginan –bukan sekadar kebutuhan—hidupnya dari nafkah suami.
Fenomena busana Muslimah pun, sejatinya disetir industri fashion hingga mengabaikan syarat-syarat syariah. Itu tampak dari slogan kebanggan para hijabers misalnya, yang selalu bangga mengatakan “biarpun menutup aurat, tetap fashionable dan trendy.” Akhirnya menutup aurat, tapi tabaruj.
Itulah model ‘pembaratan’ Muslimah. Musuh-musuh Islam itu, sengaja membiarkan Muslimah tertutup pakaiannya, tapi pemikirannya serba terbuka. Terbuka menerima ide-ide menyesatkan ala Barat.
Bahkan, perempuan seperti itu justru menjadi role model paling efektif untuk membaratkan Muslimah lainnya. Banyak aktivis pejuang gender yang notabene Muslimah berkerudung. Padahal, pada kesempatan tertentu mereka menggugat kerudung itu sendiri. Mereka lebih membela orang sekuler, liberal, bahkan pelaku maksiat, dibanding Muslimah taat.
Lebih memprihatinkan lagi, Barat tak hanya berhasil menyejajarkan peran pria dan wanita, bahkan sudah menukarkannya. Misalnya fenomena istri bekerja mencari nafkah, sementara suami di rumah mengasuh anak. Seperti yang diarahkan Kick Andy dalam acaranya Kamis (3/5/12) lalu, di mana seorang Muslimah berkerudung berbagi pengalamannya bertukar peran dengan suami. Inilah kebangkitan Muslimah, tetapi kebangkitan yang didambakan Barat. Sedangkan bagi Muslimah sejati, justri inilah kemunduran. Bukan seperti ini arah kebangkitan Muslimah yang diharapkan Allah SWT.
Muslimah Sejati
Muslimah baru dikatakan bangkit jika dia memiliki pola pikir dan pola sikap islami. Pemahaman dan perilakunya sinkron. Penampilan luar dan dalamnya sejalan. Ia menjaga harga dirinya dengan pakaian takwa, namun juga menjaga perilaku dan pemikirannya dengan standar Islam.
Inilah pekerjaan rumah para Muslimah. Yakni, menyadari hakikat dirinya demi kebangkitan hakiki. Bahwa arah kebangkitan sejati adalah penghambaan diri seutuhnya seorang Muslimah terhadap Sang Pencipta, Allah SWT. Bahwa kiblat mereka dalam berpikiran, bertingkah laku maupun berbusana, bukanlah Barat namun Islam. Muslimah kaffah, yang senantiasa terikat dengan hukum-hukum syariat Islam, itulah Muslimah sejati.
Kesadaran Muslimah akan hakikat dirinya, tidak ada dengan sendirinya. Dibutuhkan peran Muslimah lainnya yang telah lebih dulu memahami Islam. Merekalah yang bertugas menyadarkan kaum Muslimah umumnya, agar terikat pada syariat Islam. Inilah arah pemberdayaan Muslimah sesungguhnya, yakni menjadi penarik gerbong perubahan kaumnya.
Pejuang Kebangkitan
Peran Muslimah dalam membangkitkan umat tak perlu diragukan. Sejak masa Rasulullah SAW, para Muslimah generasi awal terlibat aktif dalam membangkitkan umat. Mereka melakukan gerakan dakwah bersama kaum Muslimin lainnya untuk melakukan transformasi sosial. Mengubah masyarakat jahiliyah yang paganistik menjadi masyarakat Islam yang Rabbani.
Mereka bahkan secara bersama merasakan pahit getirnya mengemban misi dakwah. Melakukan perang pemikiran dan perjuangan politik di tengah-tengah masyarakat, hingga atas pertolongan Allah SWT, masyarakat Islam yang agung tegak di Madinah. Yakni, masyarakat yang tegak di atas landasan akidah dan hukum-hukum Islam.
Sejarah mencatat nama-nama besar semisal Sayyidah Khadijah binti Khuwailid ra, Sitti Fathimah Az-Zahra ra, Asma binti Abu Bakar ra, Sumayyah ra, Ummu Habibah binti Abu Sufyan ra, Lubabah binti al-Harits al-Hilaliyah ra, Fathimah binti al-Khaththab ra, Ummu Jamil binti al-Khaththab ra, Ummu Syarik ra, dll. Sejak bersentuhan dengan Islam, keseharian mereka hanya dipersembahkan demi kemuliaan Islam.
Tak satupun di antara mereka yang mau—meski sejenak—tertinggal dari satu peristiwa, apalagi berlepas diri dari tanggung jawab memperjuangkan dienul haq. Seberapapun besarnya risiko yang harus mereka hadapi. Sebagian dari mereka ada yang harus kehilangan harta, terpisah dari orang-orang yang dicinta, bahkan rela kehilangan nyawa.
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa merekalah pelopor dan peletak dasar pilar-pilar pergerakan Muslimah yang hakiki, yang layak menjadi teladan pergerakan Muslimah dari zaman ke zaman. Di atas pilar-pilar inilah Muslimah generasi sesudah mereka membangun kekuatan.
Di masa Khulafaur Rasyidin dan para khalifah sesudahnya, peran pergerakan Muslimah dalam kancah kehidupan, termasuk dalam percaturan politik tercatat demikian besar. Baik dalam aktivitas amar ma'ruf nahi munkar, muhasabah (koreksi) terhadap penguasa, maupun aktivitas jihad dan futuhat.
Hebatnya, pada saat yang sama, merekapun berhasil mencetak generasi terbaik—generasi mujahid dan mujtahid—yang mampu membangun peradaban Islam yang tinggi. Mengantarkan umat Islam benar-benar sebagai khoiru ummah. Sebuah bukti nyata yang mematahkan tudingan bahwa Islam menegasikan kiprah kaum Muslimah. Kini, sudah selayaknya jika para Muslimah merindukan kembali posisi mulia seperti itu.[]kholda

9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment

Advertisements