Thursday, February 10

Pertumbuhan Ekonomi tanpa Utang & Eksploitasi

Pemerintah Indonesia telah menargetkan pertumbuhan ekonomi menjadi 7 persen hingga 2013 mendatang. Untuk mewujudkan target tersebut, pemerintah memetakan sejumlah peluang dan momentum, di antaranya adalah dengan meluncurkan rencana induk pembangunan yang terbagi menjadi enam koridor ekonomi. Koridor-koridor ini akan tersebar di beberapa wilayah di tanah air.
Menko Perekonomian Hatta Radjasa menjelaskan, Indonesia memiliki banyak peluang pada tahun 2011 ini untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, beberapa di antaranya adalah kepercayaan investor asing yang meningkat dan pemberdayaan sumber-sumber daya alam yang belum optimal.
Kompas (3/1) mencatat optimisme pemerintah meningkat berdasarkan data yang dikeluarkan Flitch. Lembaga pemeringkat itu menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi BB+, satu tingkat di bawah investment grade. Lembaga pemeringkat yang lain, Standard & Poor, juga menaikkan peringkat surat utang luar negeri kita dari BB- menjadi BB, dengan outlook yang positif.
Sudah menjadi tradisi bahwa pemerintah selalu mengandalkan utang luar negeri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Pemerintah dengan bangga menyatakan utang luar negeri menjadi modal dasar bagi pembangunan ekonomi nasional. Ini adalah seperti mata rantai yang tidak pernah ada habisnya. Dari era orde baru hingga reformasi, pemerintah kita terbelenggu oleh paradigma neokolonialisme dan neoliberalisme.
Perlunya kewaspadaan terhadap utang luar negeri telah pula dikemukakan antara lain oleh Krauss (1983) tentang development without aid. Pinjaman luar negeri meningkatkan intervensi-intervensi negara-negara donor maupun negara-negara penerima bantuan, yang merusak prinsip-prinsip ekonomi, dengan mengabaikan keunggulan-keunggulan komparatif di negara-negara penerima bantuan. Salah satunya adalah penghilangan subsidi bagi masyarakat.
Lebih lanjut pandangan Krauss ini sejalan dengan banyak pendapat umum bahwa luar negeri tidak terlepas dari ”skenario Barat” untuk mempertahankan negara-negara terbelakang tetap dalam posisi status quo in dependency (Swasono, S.E., 1998). Dengan demikian, dapat diperoleh jastifikasi dari pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa marginal-benefit dari utang luar negeri bisa lebih kecil dari marginal cost-nya, akibatnya sumbangan utang luar negeri terhadap GDP negatif (Kariawan, H, 1996).
Pemerintah kita memang tidak pernah berpihak secara policy terhadap pembangunan ekonomi berbasis sektor riil. Hal itu dapat dipahami karena indikator pertumbuhan ekonomi selalu berdasarkan pada sektor makro. Pergantian Presiden hingga menteri keuangan, para pelaku sektor riil selalu menjerit karena menjadi anak tiri di negeri sendiri. Pasar uang selalu diminati oleh para pemilik kebijakan di bandingkan pasar barang dan jasa.
Dalam pengertian dialektik hubungan ekonomi antaraktor ekonomi, pemasok utang luar negeri dan investor asing menjadi lebih berkuasa dalam memeras rakyat Indonesia, terutama yang berada di strata bawah dalam masyarakat Indonesia. Jelas ini menunjukkan bahwa Indonesia dan rakyatnya akan kembali menjadi koloni asing. Dan utang luar negeri yang menumpuk telah berubah sifatnya dari perangkap menjadi bumerang (Sritua Arief, 1999). Bumerang dalam pengertian mempermiskin Indonesia dan rakyatnya.
Pembangunan ekonomi tanpa utang adalah pembangunan yang berprinsip kemandirian nasional, tidak harus diartikan secara harfiah utang yang sama sekali nol. Pembangunan tanpa utang lebih merupakan proses perubahan substansial untuk melepaskan keterjebakan utang, dari dependensi menuju self sufficiency dan independensi. Tidak ada utang luar negeri yang bebas ikatan dan kepentingan, sehingga utang luar negeri pada dasarnya dapat diibaratkan sebagai ”madu beracun”.
Hal lain yang harus dikritisi dari cara pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi adalah eksploitasi alam. Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia begitu melimpah. Hutan, emas, ikan, pertambangan dan perkebunan adalah salah satu kekayaan yang dimiliki negeri ini. Eksploitasi untuk mendapatkan keuntungan dilakukan pemerintah dengan melibatkan pengusaha lokal dan perusahaan asing. Namun, kekayaan yang dihasilkan tidak berpihak untuk rakyat banyak. Negara hanya mendapat porsi sedikit, sementara keuntungan besar dirasakan segelintir kelompok dan pengelola sumber daya alam yang kebanyakan dari asing.
Dalam perhutanan saja, rata-rata hasil hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 7 hingga 8 miliar Dolar AS setiap tahunnya. Dari sekian keuntungan tersebut, dana yang masuk ke kas negara hanya 17 persen. Sisanya, yaitu 83 persen masuk ke kantong pengusaha HPH (Sembiring, 1994).
Selain rendahnya keuntungan yang didapat, negara juga ikut menanggung kerusakan yang diakibatkan eksploitasi hutan. PT Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Dephutbun pernah meneliti bahwa eksploitasi hutan melalui pola HPH ternyata telah menimbulkan kerusakan lebih dari 50 juta hektare.
Kini,  areal kerusakan hutan mencapai luas 56,98 juta hektare. Untuk merehabilitasinya, Indonesia memerlukan dana Rp 225 triliun. Sementara itu, dana reboisasi (DR) di APBN hanya dianggarkan Rp 7 triliun saja. Itu pun masih akan
bertambah karena kerusakan hutan di Indonesia kini diperkirakan mencapai 1,6 juta hektar per tahun.
Kita tentu hanya bisa mengerut dada sambil mengerenyitkan kening betapa penyelenggara negara ini tidak sungguh-sungguh mengelola diri menjadi bangsa yang besar. Di awal tahun 2011, kita berharap pemerintah tidak mengandalkan utang luar negeri dan eksploitasi alam untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi. (*)

Artikel Terkait:

1 comment:

Advertisements