VIVAnews - "Internet tidak jalan, kendaraan-kendaraan polisi terbakar." Pesan yang beredar di dunia maya itu menyeruak di tengah senyapnya informasi langsung dari Mesir.
Itu bukanlah pesan yang dikirim lewat situs jejaring mikroblog Twitter, atau pesan instan di Internet maupun di layanan BlackBerry. Bukan juga pesan pendek dari ponsel. Itu adalah pesan yang dikirim melalui saluran radio amatir menggunakan kode morse.
Lewat saluran frekuensi 7080 kHz, pesan itu diterima oleh Telecomix, sebuah organisasi yang berbasis di Eropa yang telah malang-melintang dalam mengadvokasi keterbukaan Internet di tengah berbagai konflik, termasuk di Tunisia, Iran, China, dan negara-negara lainnya.
Jumat itu, 28 Januari 2011, Negeri Seribu Menara memang tengah dilanda bencana maya. Pipa Internet yang biasa menyalurkan lalu-lalang informasi bagi lebih dari 80 juta pengguna Internet di sana, lumpuh tiba-tiba.
'Kicauan' warga Mesir di Twitter tak terdengar lagi. Aktivitas Facebooker mendadak lesu. Menurut firma pemantau trafik Internet, Renesys, antara tengah malam hingga Jumat pukul 01.00 waktu setempat, lalu-lintas Internet Mesir anjlok hingga 93 persen.
Belakangan diketahui, bahwa penyedia-penyedia internet (ISP) terbesar Mesir: Vodafone–Raya, Telecom Egypt, Link Egypt, Etisalat Misr, dan Internet Egypt, ramai-ramai menyetop layanan mereka. Penyebabnya satu: instruksi dari pemerintah Mesir.
Renesys menganalisa, pemblokiran itu melibatkan penutupan terhadap 3.500 rute Border Gateway Protocolklik di sini.
Rute itu diperlukan, agar jaringan milik penyedia Internet bisa membuat jalur untuk melewatkan paket-paket data dalam komunikasi Internet. Hanya satu dari 10 penyedia internet Mesir yang tak terimbas, yakni ISP bernama Noor Data Networks.
Mungkin, yang menjelaskan kenapa jaringan Internet Noor tetap menyala, karena jaringan ini melayani bursa saham Mesir. Beberapa perusahaan multinasional seperti Fedex, Toyota, dan Coca Cola, juga menggunakan jaringan ini.
Mesir hanya bisa terhubung dengan Internet, menggunakan akses broadband atau dial-up melalui jaringan satelit, atau akses dial-up ke penyedia Internet (ISP) luar negeri, yang berarti menggunakan tarif telepon internasional. Akses-akses ini sudah tentu tidak terjangkau oleh kebanyakan rakyat Mesir.
Senasib dengan Internet, jaringan ponsel, layanan SMS, BlackBerry Messenger pun mengalami hal serupa sejak Jumat pagi. Praktis hanya jaringan telepon kabel yang masih beroperasi di Mesir.
Pemblokiran Internet sengaja ditempuh Presiden Hosni Mubarak untuk membendung mobilisasi demonstran turun ke jalan menuntut pengunduran dirinya. Apalagi, saat itu para pengunjuk rasa memang berencana menggelar unjuk rasa terbesar selama beberapa tahun terakhir, selepas Salat Jumat.
Selama ini, demonstran yang telah memulai aksinya sejak 25 Januari 2011, memang memanfaatkan jejaring sosial Facebook dan Twitter untuk mendukung aksi-aksi mereka. Maka, pada hari pertama unjuk rasa, Mesir langsung memblokir Facebook dan Twitter. Toh, langkah itu tak kuasa membungkam para demonstran.
Para aktivis mampu menerobos blokade itu dengan memanfaatkan aplikasi ponsel serta aplikasi pihak ketiga, memanfaatkan situs-situs proxy (situs-situs perantara yang tidak diblok), menggunakan software khusus, atau mengunjungi Faceboook dan Twitter lewat jaringan Virtual Private Network yang terproteksi.
Menurut situs penelusur tren Twitter, Trendistic, topik #Jan25 dan #Egypt justru mulai mengalami lonjakan pada hari di mana pemerintah menerapkan blokir internet. Trafik dengan topik tersebut bahkan semakin memuncak pada 29 Januari, saat aksi menginjak hari keempat. Lengkapnya, lihat di sini.
Mesir sebenarnya bukanlah salah satu negara dengan jumlah pengguna Facebook yang besar. Menurut situs pemeringkat Facebook, CheckFacebook, hanya ada sekitar 5,2 juta pengguna Facebook di Mesir dari total 80,5 juta pengguna Internet di negeri itu. Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki 34,5 juta pengguna Facebook, dari total pengguna Internet yang hanya sekitar 45 juta.
Para pengamat pun terbelah dalam memandang peran media sosial dalam pergolakan Mesir. Ethan Zuckerman, salah satu pendiri media jurnalisme warga, Global Voices Online, mengatakan bahwa peningkatan suhu politik Tunisia dan Mesir lebih banyak terkait dengan tekanan kemiskinan dan perilaku diktator rezim yang berkuasa di sana, ketimbang peran media sosial.
Sementara Jared Cohen yang bekerja untuk Google Ideas, sebuah lembaga think thank baru milik Google, berpendapat lain. Cohen yang sempat bekerja bagi penasehat utama Clinton, pada 2009 pernah menelepon dan membujuk pimpinan Twitter untuk menunda penghentian sementara layanan Twitter dalam rangka perawatan sistem, agar para pengunjuk rasa Iran yang saat itu sedang turun ke jalanan di Teheran agar tetap bisa berkoordinasi satu sama lain melalui Twitter. "Tidak ada yang bisa menyamai revolusi Twitter," kata Jared, bersemangat. (BGP) oleh para penyedia Internet di sana. Padahal rute BGP adalah salah satu bagian terpenting pada teknologi Internet. Ulasan Renesys selengkapnya,
Itu bukanlah pesan yang dikirim lewat situs jejaring mikroblog Twitter, atau pesan instan di Internet maupun di layanan BlackBerry. Bukan juga pesan pendek dari ponsel. Itu adalah pesan yang dikirim melalui saluran radio amatir menggunakan kode morse.
Lewat saluran frekuensi 7080 kHz, pesan itu diterima oleh Telecomix, sebuah organisasi yang berbasis di Eropa yang telah malang-melintang dalam mengadvokasi keterbukaan Internet di tengah berbagai konflik, termasuk di Tunisia, Iran, China, dan negara-negara lainnya.
Jumat itu, 28 Januari 2011, Negeri Seribu Menara memang tengah dilanda bencana maya. Pipa Internet yang biasa menyalurkan lalu-lalang informasi bagi lebih dari 80 juta pengguna Internet di sana, lumpuh tiba-tiba.
'Kicauan' warga Mesir di Twitter tak terdengar lagi. Aktivitas Facebooker mendadak lesu. Menurut firma pemantau trafik Internet, Renesys, antara tengah malam hingga Jumat pukul 01.00 waktu setempat, lalu-lintas Internet Mesir anjlok hingga 93 persen.
Belakangan diketahui, bahwa penyedia-penyedia internet (ISP) terbesar Mesir: Vodafone–Raya, Telecom Egypt, Link Egypt, Etisalat Misr, dan Internet Egypt, ramai-ramai menyetop layanan mereka. Penyebabnya satu: instruksi dari pemerintah Mesir.
Renesys menganalisa, pemblokiran itu melibatkan penutupan terhadap 3.500 rute Border Gateway Protocolklik di sini.
Rute itu diperlukan, agar jaringan milik penyedia Internet bisa membuat jalur untuk melewatkan paket-paket data dalam komunikasi Internet. Hanya satu dari 10 penyedia internet Mesir yang tak terimbas, yakni ISP bernama Noor Data Networks.
Mungkin, yang menjelaskan kenapa jaringan Internet Noor tetap menyala, karena jaringan ini melayani bursa saham Mesir. Beberapa perusahaan multinasional seperti Fedex, Toyota, dan Coca Cola, juga menggunakan jaringan ini.
Mesir hanya bisa terhubung dengan Internet, menggunakan akses broadband atau dial-up melalui jaringan satelit, atau akses dial-up ke penyedia Internet (ISP) luar negeri, yang berarti menggunakan tarif telepon internasional. Akses-akses ini sudah tentu tidak terjangkau oleh kebanyakan rakyat Mesir.
Senasib dengan Internet, jaringan ponsel, layanan SMS, BlackBerry Messenger pun mengalami hal serupa sejak Jumat pagi. Praktis hanya jaringan telepon kabel yang masih beroperasi di Mesir.
Pemblokiran Internet sengaja ditempuh Presiden Hosni Mubarak untuk membendung mobilisasi demonstran turun ke jalan menuntut pengunduran dirinya. Apalagi, saat itu para pengunjuk rasa memang berencana menggelar unjuk rasa terbesar selama beberapa tahun terakhir, selepas Salat Jumat.
Selama ini, demonstran yang telah memulai aksinya sejak 25 Januari 2011, memang memanfaatkan jejaring sosial Facebook dan Twitter untuk mendukung aksi-aksi mereka. Maka, pada hari pertama unjuk rasa, Mesir langsung memblokir Facebook dan Twitter. Toh, langkah itu tak kuasa membungkam para demonstran.
Para aktivis mampu menerobos blokade itu dengan memanfaatkan aplikasi ponsel serta aplikasi pihak ketiga, memanfaatkan situs-situs proxy (situs-situs perantara yang tidak diblok), menggunakan software khusus, atau mengunjungi Faceboook dan Twitter lewat jaringan Virtual Private Network yang terproteksi.
Menurut situs penelusur tren Twitter, Trendistic, topik #Jan25 dan #Egypt justru mulai mengalami lonjakan pada hari di mana pemerintah menerapkan blokir internet. Trafik dengan topik tersebut bahkan semakin memuncak pada 29 Januari, saat aksi menginjak hari keempat. Lengkapnya, lihat di sini.
Mesir sebenarnya bukanlah salah satu negara dengan jumlah pengguna Facebook yang besar. Menurut situs pemeringkat Facebook, CheckFacebook, hanya ada sekitar 5,2 juta pengguna Facebook di Mesir dari total 80,5 juta pengguna Internet di negeri itu. Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki 34,5 juta pengguna Facebook, dari total pengguna Internet yang hanya sekitar 45 juta.
Para pengamat pun terbelah dalam memandang peran media sosial dalam pergolakan Mesir. Ethan Zuckerman, salah satu pendiri media jurnalisme warga, Global Voices Online, mengatakan bahwa peningkatan suhu politik Tunisia dan Mesir lebih banyak terkait dengan tekanan kemiskinan dan perilaku diktator rezim yang berkuasa di sana, ketimbang peran media sosial.
Sementara Jared Cohen yang bekerja untuk Google Ideas, sebuah lembaga think thank baru milik Google, berpendapat lain. Cohen yang sempat bekerja bagi penasehat utama Clinton, pada 2009 pernah menelepon dan membujuk pimpinan Twitter untuk menunda penghentian sementara layanan Twitter dalam rangka perawatan sistem, agar para pengunjuk rasa Iran yang saat itu sedang turun ke jalanan di Teheran agar tetap bisa berkoordinasi satu sama lain melalui Twitter. "Tidak ada yang bisa menyamai revolusi Twitter," kata Jared, bersemangat. (BGP) oleh para penyedia Internet di sana. Padahal rute BGP adalah salah satu bagian terpenting pada teknologi Internet. Ulasan Renesys selengkapnya,
Faktanya, tak dapat dipungkiri bahwa peran Facebook dalam upaya penggalangan dukungan dalam gerakan oposisi ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Salah satu elemen penting penggagas unjuk rasa pada 25 Januari lalu adalah Gerakan Pemuda 6 April.
Ini gerakan di Facebook yang dibikin Ahmed Maher dan Ahmed Salah sejak tahun 2008, yang memiliki lebih dari 70 ribu pendukung. Kelompok yang didukung para blogger dan jurnalis ini beberapa kali menggelar unjuk rasa untuk menuntut pembebasan wartawan yang ditahan selama konflik Israel dan Palestina di Jalur Gaza pada 2008-2009.
Anehnya, kabel diplomatik AS yang dibocorkan Wikileaks mengatakan bahwa AS mengesampingkan gerakan ini sebagai gerakan di luar oposisi mainstream, dan menuduh tujuan gerakan ini untuk demokrasi tidaklah realistis. Pada 6 April 2009, kelompok ini juga diserang oleh sejumlah polisi berpakaian preman. Beberapa tokohnya ditahan aparat.
Motor gerakan 25 Januari 2011 yang lain adalah juga kelompok Facebook, yang menamakan dirinya sebagai ‘We are All Khaled Said’. Khaled Said adalah pemuda 28 tahun yang tewas dianiaya polisi Mesir setelah mengunggah video yang memperlihatkan polisi membagi-bagi narkotika hasil sitaan.
Gerakan ini langsung menuai simpati dari banyak kalangan. Baru didirikan sekitar enam bulan, kini anggotanya sudah mencapai ribuan orang. Siapa pendirinya belum diketahui. Dia hanya menggunakan nama maya ElShaheed.
Menurut aktivis Mesir Esraa Abdel Fatah yang juga dikenal dengan nama maya Facebook Girl, dia mengenal ElShaheed sejak bekerja sama dalam aksi pada 2008 silam. ”Tidak ada yang tahu siapa dia sebenarnya,” kata Abdel Fatah.
Belum lama ini majalah terkemuka Newsweek sempat mewawancarainya. ElShaheed mengungkapkan kekuatan Facebook bagi gerakan anti rezim Hosni Mubarak ini. “Beberapa video yang kami publikasikan bisa ditonton di dinding orang lebih dari 30 ribu kali. Ini adalah kekuatan sebuah virus. Sekali ditularkan, tidak bisa dihentikan,” ujarnya kepada Newsweek.
Namun demikian, ElShaheed juga berhati-hati. Pengalaman terdahulu menunjukkan setiap kali ada seruan unjuk rasa, anggota kelompok ini melupakan komputer dan langsung turun ke jalan. ElShaheed berusaha menjaga regularitas aktivitas anggotanya di dunia maya dengan berbagai kegiatan--menggelar jajak pendapat, meminta saran, atau posting selebaran elektronik.
“Tugas saya adalah menjaga motivasi orang, memberikan informasi, dan menyemangati mereka untuk menjadi bagian dari gerakan. Tak sekadar melaporkan kegiatan itu saja,” katanya. Tentang identitasnya yang tetap disembunyikan, ElShaheed berkomentar singkat. “Saya sebisa mungkin berusaha untuk tetap anonim. Tentu saja saya tetap takut,” katanya, jujur.
Di saat koneksi Internet di Mesir mati, tentu kegiatan di laman Facebook Gerakan Pemuda 6 April dan Khaled Said mendadak sepi. Saat itulah Al Jazeera memainkan peranan yang tak kalah besar dibandingkan media sosial.
Saat pemerintah Mesir berusaha mengacak sinyal TV satelit milik Al Jazeera, jaringan TV yang bermarkas di Qatar itu menemukan cara untuk menembus sensor, yakni dengan memanfaatkan metoda frequency-switching untuk mengirimkan informasi kepada para pemirsa. Tak hanya itu, Al Jazeera juga mengumumkan frekuensi yang bisa dimanfaatkan para penonton di Mesir agar bisa ditonton. Al Jazeera kemudian juga bisa diakeses pula melalui jaringan milik saluran TV pesaing lain di Arab.
Tak heran bila di mana-mana, dari supermarket hingga ke tempat tukang jahit, saluran TV yang dinyalakan adalah Al Jazeera. "Yang unik dari Al Jazeera—setuju atau tidak—ini adalah saluran TV satelit Arab pertama yang memungkinkan orang Arab berbicara dengan bebas tanpa filter tentang rezim-rezim represif di Arab," kata Jeannie Sowers, pengamat politik Timur Tengah dari University of New Hampshire, kepada Scientific American.
Dunia internasional pun tak tinggal diam melihat saluran Internet Mesir yang mati. Selain upaya Telecomix mendengarkan pesan yang disampaikan melalui saluran radio amatir, hacker Anonymous, dan pihak-pihak dari Eropa memberikan beberapa nomor telepon di luar Mesir--beberapa di antaranya bebas pulsa (toll-free)--sehingga rakyat Mesir bisa menikmati Internet melalui modem dial-up dengan sambungan telepon internasional.
Selain itu, beberapa aktivis juga membuat sebuah situs proxy (penghubung) agar warga Mesir bisa tetap mengakses Internet melalui saluran telepon kabel dalam negeri. Google dan Twitter juga bekerja sama menyediakan layanan "speech to tweet" yang memungkinkan warga Mesir mem-post tweet dengan cara meninggalkan rekaman pesan suara mereka melalui jaringan telepon kabel.
Rabu, 2 Februari 2011, sepekan lebih sehari, sejak aksi pertama kelompok oposisi dilakukan, layanan Internet Mesir akhirnya kembali pulih. Setelah Hosni Mubarak berjanji tak akan lagi mencalonkan diri pada pemilu mendatang, penyedia-penyedia layanan Internet Mesir mengembalikan koneksi pada pukul 11.29 waktu Kairo.
Namun, perjuangan belum berakhir. Kelompok oposisi tetap menghendaki kemakzulan Mubarak secepat mungkin. Di jalanan, korban berjatuhan baik di kalangan demonstran maupun di pihak pendukung bayaran Mubarak.
Di dunia maya pun, pertempuran belum usai. Setelah Internet normal kembali, para hacker Anonymous kembali membombardir situs-situs milik pemerintahan. Mereka mengincar situs Kementerian Informasi Mesir dan situs Partai Nasional Demokrat. Bahkan situs resmi Presiden Yaman juga ikut menjadi sasaran.
Sementara itu, Gerakan Pemuda 6 April dan Kelompok Khaled Said terus menggalang dukungan di Facebook. ElShaheed bertekad akan terus mendukung perjuangan di ranah maya hingga revolusi berhasil mencapai tujuannya. “Tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi ke depan— termasuk Mubarak,” katanya.
Bila perjuangan berakhir, ElShaheed berjanji tak akan mengungkap jati diri aslinya. “Ini bukan perjuangan milik saya pribadi. Ini bukan mengenai saya, tapi ini mengenai rakyat Mesir." katanya. (kd)
“Tugas saya adalah menjaga motivasi orang, memberikan informasi, dan menyemangati mereka untuk menjadi bagian dari gerakan. Tak sekadar melaporkan kegiatan itu saja,” katanya. Tentang identitasnya yang tetap disembunyikan, ElShaheed berkomentar singkat. “Saya sebisa mungkin berusaha untuk tetap anonim. Tentu saja saya tetap takut,” katanya, jujur.
Di saat koneksi Internet di Mesir mati, tentu kegiatan di laman Facebook Gerakan Pemuda 6 April dan Khaled Said mendadak sepi. Saat itulah Al Jazeera memainkan peranan yang tak kalah besar dibandingkan media sosial.
Saat pemerintah Mesir berusaha mengacak sinyal TV satelit milik Al Jazeera, jaringan TV yang bermarkas di Qatar itu menemukan cara untuk menembus sensor, yakni dengan memanfaatkan metoda frequency-switching untuk mengirimkan informasi kepada para pemirsa. Tak hanya itu, Al Jazeera juga mengumumkan frekuensi yang bisa dimanfaatkan para penonton di Mesir agar bisa ditonton. Al Jazeera kemudian juga bisa diakeses pula melalui jaringan milik saluran TV pesaing lain di Arab.
Tak heran bila di mana-mana, dari supermarket hingga ke tempat tukang jahit, saluran TV yang dinyalakan adalah Al Jazeera. "Yang unik dari Al Jazeera—setuju atau tidak—ini adalah saluran TV satelit Arab pertama yang memungkinkan orang Arab berbicara dengan bebas tanpa filter tentang rezim-rezim represif di Arab," kata Jeannie Sowers, pengamat politik Timur Tengah dari University of New Hampshire, kepada Scientific American.
Dunia internasional pun tak tinggal diam melihat saluran Internet Mesir yang mati. Selain upaya Telecomix mendengarkan pesan yang disampaikan melalui saluran radio amatir, hacker Anonymous, dan pihak-pihak dari Eropa memberikan beberapa nomor telepon di luar Mesir--beberapa di antaranya bebas pulsa (toll-free)--sehingga rakyat Mesir bisa menikmati Internet melalui modem dial-up dengan sambungan telepon internasional.
Selain itu, beberapa aktivis juga membuat sebuah situs proxy (penghubung) agar warga Mesir bisa tetap mengakses Internet melalui saluran telepon kabel dalam negeri. Google dan Twitter juga bekerja sama menyediakan layanan "speech to tweet" yang memungkinkan warga Mesir mem-post tweet dengan cara meninggalkan rekaman pesan suara mereka melalui jaringan telepon kabel.
Rabu, 2 Februari 2011, sepekan lebih sehari, sejak aksi pertama kelompok oposisi dilakukan, layanan Internet Mesir akhirnya kembali pulih. Setelah Hosni Mubarak berjanji tak akan lagi mencalonkan diri pada pemilu mendatang, penyedia-penyedia layanan Internet Mesir mengembalikan koneksi pada pukul 11.29 waktu Kairo.
Namun, perjuangan belum berakhir. Kelompok oposisi tetap menghendaki kemakzulan Mubarak secepat mungkin. Di jalanan, korban berjatuhan baik di kalangan demonstran maupun di pihak pendukung bayaran Mubarak.
Di dunia maya pun, pertempuran belum usai. Setelah Internet normal kembali, para hacker Anonymous kembali membombardir situs-situs milik pemerintahan. Mereka mengincar situs Kementerian Informasi Mesir dan situs Partai Nasional Demokrat. Bahkan situs resmi Presiden Yaman juga ikut menjadi sasaran.
Sementara itu, Gerakan Pemuda 6 April dan Kelompok Khaled Said terus menggalang dukungan di Facebook. ElShaheed bertekad akan terus mendukung perjuangan di ranah maya hingga revolusi berhasil mencapai tujuannya. “Tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi ke depan— termasuk Mubarak,” katanya.
Bila perjuangan berakhir, ElShaheed berjanji tak akan mengungkap jati diri aslinya. “Ini bukan perjuangan milik saya pribadi. Ini bukan mengenai saya, tapi ini mengenai rakyat Mesir." katanya. (kd)
• VIVAnews
No comments:
Post a Comment